Kampanye Yang Lebih Mendengar

Kampanye Yang Lebih Mendengar


Dr. Eko Harry Susanto

ekoharry@yahoo.com

Dinamika politik dalam pilkada Jakarta semakin menggeliat. Setelah melalui proses panjang yang kontroversial, melelahkan dan tarik ulur dari para elite politik dalam penyaringan kandidat gubernur dan wakil gubernur, akhirnya muncul nama Fauzi Bowo yang berpasangan dengan May. Jen Priyanto, dan Adang Daradjatun yang menggandeng Dhani Anwar

Siapa yang akan keluar sebagai pemenang, tentu masih sulit untuk meramalkan. Sebab, kalkulasi sederhana untuk menduga pilihan warga Jakarta, tidak sebatas pada perhitungan jumlah massa dari partai pendukung masing – masing pasangan calon gubernur, tetapi ada berbagai faktor yang memiliki urgensi tinggi menyangkut atribut masyarakat perkotaan. Tanpa menafikan pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat ibukota terlalu rasional untuk menetapkan pilihan, atau justru warga Jakarta sangat tidak rasional dalam menentukan pemimpinnya, sebab mereka sesungguhnya sekelompok komunitas kolektif tradisional yang harus hidup di kampung besar bernama metropolitan, tetapi yang pasti mencari orang nomor satu di ibukota Republik Indonesia bukan pekerjaan mudah.

Jakarta memang heterogin dari sudut sosial-kultural, ekonomi dan politik, tetapi sesungguhnya mereka memiliki harapan sama, tercapainya kesejahteraan, keadilan, keamanan dan sejumlah tuntutan lain yang mengisyaratkan agar Gubernur dan Wakilnya yang terpilih, mampu menjalankan kekuasaan yang menjamin kesejahteraan bagi seluruh warga Jakarta tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif dalam semua bidang kehidupan.

Mengingat tuntutan warga Jakarta tersebut, para kandidat gubernur dan wakil gubernur sebaiknya agar berhati – hati dalam melakukan kampanye. Janji yang diobral sejak dini kepada rakyat harus dikaji lebih dini sebelum disampaikan kepada publik. Kampanye yang penuh dengan retorika monoton melalui berbagai media sebaiknya dilakukan dengan bijaksana dan tidak gegabah. Sebab, janji yang bertubi – tubi dalam perspektif komunikasi politik cenderung tidak dihiraukan, terlebih lagi di lingkungan masyarakat yang sudah terlalu sering dikecewakan oleh mulut manis para politisi yang asal bicara. Oleh sebab itu, beberapa persoalan yang sejatinya menjadi perhatian Tim sukses dari Fauzi Bowo – Prijanto dan Adang Daradjatun – Dhani Anwar, agar tidak terperosok dalam penilaian sikap sinisme politik ataupun skeptisme warga Jakarta untuk menggunakan hak pilihnya.

Pertama, dapat dipastikan bahwa tuntutan masyarakat berfokus pada persoalan penanggulangan bencana banjir. Sebab masyarakat masih tetap trauma terhadap bahaya banjir yang sewaktu – waktu bisa menenggelamkan Jakarta. Menyikapi persoalan ini, tentu saja janji kampanye yang akan dieksplorasi harus bersumber pada data faktual dan kajian akademis yang bisa dijamin obyektivitas maupun independensinya. Jadi tidak asal nyaring bersuara, sebab ada kesan pola kampanye yang diobral para kandidat dalam berbagai pilkada lebih banyak menitikberatkan pada asal keras berteriak tanpa melihat aspek faktual sebagai pendukung program kerjanya. Harus diingat, apapun yang diucapkan oleh para kandidat Gubernur beserta Tim Suksesnya, akan dicatat oleh masyarakat dan tiba saatnya mereka menagih janji setelah pilkada usai.

Masalah kedua, penggusuran yang terus berlangsung dan tidak pernah berhenti. Setiap saat Jakarta di dera oleh kabar buruk tentang tindakan represif aparat pemerintah setempat yang bernaung dibawah panji kekuasaan Gubernur Jakarta, dan perlawanan dari warga yang tergusur. Tanpa mempersoalkan apakah tindakan itu sesuai dengan ketentuan, seperti halnya Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan, tetapi dampak sosial – ekonomi yang merugikan rakyat kelas bawah harus menjadi perhatian yang serius.
Data yang selalu diperbarui oleh Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE), organisasi yang mengkampanyekan hak atas tempat tinggal, menyebutkan bahwa penggusuran paksa di Indonesia, khususnya Jakarta telah mencapai level mengkhawatirkan. Apakah ini akan dibiarkan terus menerus, tentunya harus dihentikan oleh siapapun gubernur yang terpilih.

Problem ketiga, yang harus menjadi perhatian dari para kandidat Gubernur dan Wakilnya adalah pembangunan atau renovasi pasar tradisional maupun modern. Pembangunan pasar, pemindahan tempat, renovasi dan aneka proyek lain yang berhubungan dengan pengelolalan pasar, sepertinya tidak pernah sepi dari keributan. Kendati pemerintah DKI Jakarta selalu berdalih tentang manfaat dari sejumlah proyek pasar, namun faktanya para pedagang cenderung merasa dirugikan.

Para calon gubernur Jakarta harus menyadari bahwa teramat banyak warga ibukota yang menjadi korban kebijakan pembangunan sebagaimana yang tampak dari pembangunan pasar tradisioanl. Oleh sebab itu sudah sepantasnya jika mereka diperhatikan dan diberikan kebebasan untuk untuk berusaha secara layak, tanpa ada gangguan dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab.

Masalah keempat, yang wajib dikaji oleh kandidat gubernur dan partai politik dalam rangka menciptakan keamanan Jakarta adalah, persoalan kejahatan yang luarbiasa mengkhawatirkannya. Di setiap jengkal wilayah metropolitan rawan kejahatan. Bahkan, jika melihat data Polda Metro Jaya, – sungguh menakutkan bagi masyarakat yang merindukan ketenteraman dalam hidup di metropolitan. Pada tahun 2006, rata- rata terjadi kurang lebih 66 kasus kejahatan di seluruh penjuru ibukota. Data tersebut, setelah dikaitkan dengan problema sosial ekonomi di perkotaan melalui kajian ilmiah, selayaknya jika bisa dikemas menjadi salah satu tema kampanye untuk memberikan solusi agar Jakarta tertib dan aman.

Selain, empat persoalan tersebut, ada berbagai masalah lain yang tidak kalah mengkhawatirkan dan perlu menjadi perhatian, seperti pendidikan yang layak bagi warga miskin, pengangguran yang bisa dengan mudah ditemui di seluruh penjuru ibukota, sampah yang tersebar dimana – mana, lalu lintas yang semrawut, konflik antar kelompok dan sederetan masalah sosial perkotaan lain yang dilematis penyelesaiannya. Tentu saja, cara mengatasi persoalan tersebut menjadi tema kampanye harus tetap dalam kemasan fakta sosial – ekonomi yang obyektif dan tidak terlepas dari kajian akademis.

Prinsip lain dalam menggagas dan menyampaikan retorika dihadapan publik adalah kampanye yang berfokus pada kehendak maupun harapan rakyat. Dalam kajian komunikasi politik, kemenangan Presiden Bill Clinton terhadap pesaingnya Ford, berkat perilaku politik Clinton dalam kemasan “ kampanye yang lebih banyak mendengar” dibandingkan mengobral janji. Artinya, suara nyaring dan kampanye yang hiruk pikuk bisa saja justru tidak akan menghasilkan jumlah konstituen yang signifikan.

Esensinya, selain mengemas tema kampanye yang obyektif dalam kajian akademis, dua kandidat gubernur dan wakil gubernur beserta Tim suksesnya, tidak perlu terus menerus mengeksplorasi retorika yang penuh dengan gambaran menyenangkan, atau menenggelamkan Jakarta dalam lautan spanduk obral janji, tetapi lebih baik jika mereka memberikan kesempatan kepada warga ibukota untuk bersuara lantang dalam menyampaikan tuntutan demi tercapainya Jakarta yang aman dan sejahtera.

Dr. Eko Harry Susanto
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Pendidikan:
1. S1 Ilmu Pemerintahan UGM Yogyakarta, Lulus Tahun 1981
2. S2 Ilmu Komunikasi UI (Reguler) Jakarta, Lulus Tahun 1996
3. S3 Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Lulus Januari Tahun 2004

Explore posts in the same categories: Budaya, Ekonomi, Komunikasi, Pendidikan, Politik

Tags:

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.