Rahasia Negara, Korupsi, dan Komisi Informasi (Opini di Media Indonesia,  21 Agustus 2008)

Rahasia Negara, Korupsi, dan Komisi Informasi

Oleh : Dr. Eko Harry Susanto

Media Indonesia,  21 Agustus 2008

KETIKA tuntutan masyarakat semakin gencar agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengungkapkan kasus-kasus korupsi secara transparan, pemerintah di lain pihak justru berupaya menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU-RN), yang mengandung berbagai pasal pembatasan informasi dan berpotensi pula menghambat pemberantasan korupsi.

Secara substansial, pemberantasan korupsi bisa mendulang kesuksesan apabila akses untuk mendapatkan informasi terbuka lebar, tanpa dihalangi peraturan yang menempatkan lembaga pemerintah bisa sedemikian dominannya mengategorikan berbagai macam informasi sebagai rahasia institusi dalam kekuasaan pemerintah.

Karena itu, RUU-RN, yang banyak mengatur kerahasiaan sebuah instansi pemerintah, secara telak akan mematikan upaya pemberantasan korupsi. Pekerjaan mengungkap aneka penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara menjadi tertutup dan tidak mampu memberikan harapan kepada rakyat agar Indonesia bersih dari kasus-kasus korupsi.

Dalam RUU-RN, ditandaskan bahwa instansi pemerintah memiliki sejumlah informasi yang termasuk kategori rahasia negara. Alasannya jika informasi itu dibuka kepada publik, akan mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi instansi. Persoalannya, instansi pemerintah cenderung lebih nyaman bekerja dalam ketersembunyian, tanpa diketahui masyarakat pada umumnya. Organisasi pemerintah selalu mengklaim tugas yang dijalankan adalah demi kepentingan negara.

Walaupun di dalamnya tersirat memberikan pelayanan kepada publik, hal itu dikhawatirkan lebih menonjolkan kepentingan pemerintah dalam perspektif penguasa. Dengan kata lain, instansi pemerintah akan berupaya menetapkan berbagai kegiatan yang seharusnya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, tetapi karena alasan untuk kelancaran pekerjaan akan memasukkan ke kategori yang sangat rahasia dan rahasia.

Terlebih lagi dalam RUU-RN, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 25, terdapat Dewan Rahasia Negara. Entitas tersebut selain memiliki anggota tidak tetap sesuai dengan kebutuhan, berkumpul anggota tetap yang terdiri dari 11 pejabat tinggi negara, yaitu Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BIN, Kepala Arsip Nasional, dan Kepala Lembaga Sandi Negara, yang mungkin saja lebih banyak berpihak kepada sesama instansi pemerintah dalam bingkai semangat korps yang integratif. Rezim kerahasiaan instansi bisa memberikan peluang berbagai pihak yang berhubungan dengan pemerintahan, untuk lebih bebas ‘bermain-main’ dengan keuangan negara.

Sebenarnya jika berbicara tentang rahasia negara, Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU-KIP) yang sudah disahkan DPR pada 3 April 2008 layak dijadikan rujukan.

UU tersebut mengatur informasi yang wajib dibuka kepada publik dan perkecualian informasi yang tidak bisa diakses publik karena menyangkut rahasia negara, rahasia kelembagaan, dan berbagai kerahasiaan berkaitan dengan privasi individual. Secara prinsipiil, ketentuan tentang rahasia negara telah diakomodasikan dalam UU KIP dan bisa diberlakukan untuk melindungi eksistensi negara.

Namun persoalannya, pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR sepertinya memiliki keinginan kuat untuk meneruskan RUU-RN menjadi undang-undang sebelum masa tugas mereka berakhir pada 2009.

Karena itu, jalan tengah yang sejatinya bisa dilakukan, agar Dewan Rahasia Negara tidak menjadi lembaga dominan pengategorian rahasia negara di berbagai instansi pemerintah, keberadaan Komisi Informasi (KI) yang diatur dalam UU KIP sebagai lembaga regulator dan penyelesaian sengketa akses informasi harus diberi peran dalam penetapan rahasia negara yang rentan terhadap persoalan korupsi.

Tentunya, dengan catatan, KI benar-benar independen dan merepresentasikan kemauan masyarakat terhadap checks and balance kekuasaan.

Oleh sebab itu, pada tataran ideal, pembahasan RUU Rahasia Negara lebih baik ditunda dan biarkan UU KIP dijalankan lebih dahulu.

Seandainya dalam pelaksanaannya ternyata keterbukaan informasi menimbulkan masalah dalam kedaulatan, keutuhan, dan mengganggu fungsi penyelenggaraan negara, RUU Rahasia Negara bisa dibahas kembali dengan mengakomodasikan aneka persoalan yang tidak tertampung dalam UU No 14/2008. Hal itu, tentunya, tanpa mengabaikan keterbukaan informasi sebagai perangkat pemberantasan korupsi.***

Dr. Eko Harry Susanto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara

Explore posts in the same categories: Budaya, Ekonomi, Komunikasi, Pendidikan, Politik

Tags:

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.