Pengabaian Budaya

Pengabaian Budaya

Dr. Eko Harry Susanto

ekoharry@yahoo.com

Ketika Lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo diklaim milik Malaysia, berbagai kelompok dalam masyarakat gerah dan memprotes keras tindakan negeri jiran yang dianggap melecehkan hak atas kebudayan yang sudah melekat turun temurun di Indonesia.

Namun ketika persoalan klaim Malaysia belum tuntas dan masih menjadi pembicaraan hangat, kita dikejutkan pula oleh peristiwa yang semakin memarginalkan nilai budaya. Kasus pemalsuan arca di Museum Radya Pustaka Surakarta seperti melengkapi cerita tentang keterpurukan pemeliharaan produk kebudayaan. Orang – orang yang semestinya menjaga warisan kebudayaan unggul, ternyata justru terperangkap oleh kultur material yang menafikan pentingnya warisan masa lalu sebagai benda berharga yang tidak ternilai harganya.

Dalam bingkai kebanggaan nasional, munculnya serentetan kasus yang merugikan kebudayaan nasional, sesungguhnya tidak terlepas dari kelengahan bangsa kita yang kurang perhatian terhadap kebudayaan sebagai alat pemersatu. Masyarakat lebih berasyik masyuk dengan nilai – nilai yang dipercaya di lingkungannya secara terbatas, dan memarginalkan upaya pelestarian kebudayaan nasional sebagai gerakan massal untuk menghambat praktik pencurian terhadap berbagai produk ekspresi budaya yang ada di Indonesia.

Eksistensi kebudayaan nasional menjadi semakin kompleks, jika kita mengkaitkan dengan budaya populer yang sarat dengan nilai material, secara terlembaga didiseminasikan oleh media elektronik untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. Akibatnya orientasi kebudayaan juga tidak terlepas dari model instan yang mudah diikuti dan lebih menyenangkan walaupun hanya sesaat. Padahal disisi lain, sejumlah kecil pembela produk – produk ekspresi budaya, mati – matian bertahan hidup diantara gemerlap nilai konsumerisme, seperti Reog Ponorogo, Wayang Golek, Wayang Orang, Jaipong dan aneka kesenian tradisional lain yang terpaksa keliling kampung untuk menghidupi “kebudayaan” luhur.

Cerita tentang produk kebudayaan, memiliki kecenderungan analog dengan sanggar kesenian yang kehilangan murid – muridnya, panggung pertunjukan tradisional yang semakin redup ditinggal penonton, anak – anak kehilangan permainan tradisional, naskah – naskah kuno yang berpindah tangan ke orang asing, dan berbagai produk ekspresi budaya yang dimarginalkan oleh bangsanya sendiri.

Namun sesungguhnya persoalan Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange dan pemalsuan arca Museum Radya Pustaka, bukan hal baru dalam kelalaian menjaga hasil ekspresi kebudayaan bangsa. Beberapa waktu yang lalu, pusat kerajaan Sriwijaya yang diyakini oleh bangsa Indonesia ada di sekitar kota Palembang Sumatera Selatan, diragukan oleh berbagai pihak di manca negara. Sekelompok ilmuwan percaya, bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Siam (Pattani – Pattaya) Thailand Selatan. Orang Vietnam menganggap Sriwijaya berpusat di Tonkin.

Sedangkan para peneliti Burma, berpedoman Pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Yangoon. Sejarawan Malaysiapun tak mau ketinggalan, untuk memperkirakan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya ada di wilayah Kedah Malaysia. Barangkali, pihak yang terkait dengan pemiharaan nilai budaya dan kesejarahan di pemerintahan sudah memberikan penjelasan atau menolak klaim berbagai negara tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya, tetapi secara faktual gaungnya tidak terdeteksi masyarakat luas.

Jika pusat Kerajaan Sriwijaya diklaim oleh berbagai negara ada di wilayahnya, maka Candi Borobudur, yang ada di Magelang, Jawa Tengah tidak dihiraukan lagi oleh warga dunia sebagai keajaiban dunia. Tidak jelas apa alasan substansial terlemparnya candi Budha itu sebagai keajaiban dunia yang baru.

Apakah masyarakat internasional juga menilai warisan budaya kebanggaan bangsa Indonesia itu dikaitkan dengan standart pelayanan wisata ?. Kita tidak tahu. Namun, semestinya pemerintah harus menyikapi dengan serius dan mencari sebab musababnya. Dengan demikian bukan bersikap pasif dan berlindung dibalik pernyataan Unesco yang tidak mengakui tujuh keajaiban dunia versi baru.

Tujuh Keajaiban Dunia baru, yang dipublikasikan bulan Juli 2007, adalah Taj Mahal di India, Reruntuhan Petra Jordania, Tembok Besar di China, Reuntuhan Machu Picchu yang ada di Peru, Koloseum Roma, Reruntuhan Chichen Itza di Meksiko, dan Patung Kristus yang berdiri di Rio de Janeiro, Brasil. Masyarakat dari negara – negara lokasi keajaiban dunia tersebut, dengan semangat nasionalisme terhadap kebudayaan, menyambut dengan pesta pora keberhasilan “peninggalan budaya” mereka diakui dunia. Sebaliknya, di Indonesia sebagai pemilik Candi Borobudur hanya terpana diam, meski warisan budaya leluhurnya terpental dari pilihan masyarakat internasional.

Berpijak pada persoalan tersebut diatas, pemerintah dan masyarakat seharusnya membangun semangat kolektif untuk peduli terhadap kebudayaan bangsa sendiri, memelihara dan menyuarakan di forum internasional tentang keanekaragaman kebudayaan yang bisa dinikmati oleh warga dunia. Dengan demikian, negara asing tidak bisa sewenang – wenang mengklaim produk – produk ekspresi budaya yang notabene sebagai kekayaan bangsa Indionesia diklaim sebagai milik mereka.

Namun persoalannya, dalam bingkai kebebasan informasi, menciptakan kebersamaan mempetahankan kebudayaan, akan berhadapan dengan cengkeraman budaya populer yang instan dan tersebar merata di seluruh tanah air. Padahal, perhelatan ataupun pesta kebudayaan yang diselenggarakan atas nama bangsa Indonesia hampir tidak pernah terdengar gaungnya. Lebih celaka lagi, pelayanan kepada publik untuk mengagumi kebudayaan, selalu terperosok dalam tindakan korupsi, yang membuat warga dunia mengabaikan keajaiban dunia di Indonesia.

Dr. Eko Harry Susanto
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara. Mengamati dan Meneliti Komunikasi Antar Budaya.

Pendidikan:
S1 Ilmu Pemerintahan UGM Yogyakarta, Tahun 1981
S2 Ilmu Komunikasi UI Jakarta, Tahun 1996
S3 Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Januari Tahun 2004
Email : ekohs@centrin.net.id

Explore posts in the same categories: Budaya, Ekonomi, Komunikasi, Pendidikan, Politik

Tags:

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.